Curhat lepas!
Rasanya walaupun curhat di blog tetap ada hal yang nggak bisa aku curahkan seluruhnya. Selain privasi, aku merasa mereka tidak perlu mengonsumsi kehidupanku. Namun, dari hati keinginan untuk menulis dalam blog tetap kekeh. Bulet! Karena nggak selamanya bisa diceritakan dengan teman, mau cerita ke ortu juga ngerasa nggak nyaman karena nggak terbiasa. Akhirnya aku memutuskan untuk mengaktifkan blog ini. Aku ingin blak-blakan aja di blog ini. Bebas! Bebas menghujat! Bukan menghujat orang, namun menghujat isi hati ke blog ini. Lagian aku nggak follow siapapun di blog ini. Lebih privasi, ya aku mencoba mencurahkan semua di sini. Yang banyak orang nggak tahu, apa sih yang aku rasakan, yang aku keluhkan, dan semua uneg-uneg aku tuangkan di sini.
Okee ....
Sudah cukup basa-basinya....
Jadi inisiatif dituliskan ocehan kali ini gara-gara aku baru baca tulisan salah satu blogger, yang lagi-lagi aku nemu secara random. Aku lebih suka baca kisah-kisah keseharian blogger yang aku temui. Seiiring dengan konsumsi bacaanku yang emang berubah. Dari apa yang aku baca, aku banyak mengiyakan semua yang ia utarakan dalam tulisannya. Kurang lebih hampir sama dengan apa yang aku rasain. Mengenai masa depan, ya masa depan. Berat! Kamu nggak akan kuat! Aku sendiri sebagai tokoh utamanya aja pengen nyerah aja. Aku jadi tokoh pendamping aja, yang hanya melihat bahagia tanpa tangis. Ya nggak bisa! yang jalanin lakon hidup yang aku bawa ya aku sendiri!
Jika sebagian yang sudah mengenalku di blogku satunya, blog anak emas bagi aku sang emak. Udah pada tahu bahwa sekarang aku adalah sarjana pengangguran. Aslinya juga nggak nganggur-nganggur amat, tapi title ku sebagai pendidik nggak membuatku sekarang duduk manis dan manja di kantor yakni ruang guru. Malah sebagian besar waktu ku hanya di rumah. Hanya bekerja mulai dari siang hari atau sore sampai malam, hanya di bimbel. Buat orang yang mengeluh-ngeluhkan profesi aku adalah pengagguran. Aku kerja nggak makai seragam, aku kerja nggak pakai sepatu, aku juga nggak makai pakaian dinas. Bermodal tas ransel kucelku, baju bebas,bahkan sendal. Kan ! label rendah !
Aku punya cita-cita melanjutkan studi. Itu sudah dari dulu semenjak aku lulus dari strata satu. Namun Tuhan belum mengabulkan, keluarga juga tak mendukung. Aku harus kerja dulu, orang tua mengharapkan aku bisa gunain ijazah yang aku dapatkan. Oke aku setuju! Pikirku tak masalah di satu tahun itu aku gunakan untuk kerja. Hitung-hitung bisa nabung dengan gaji sendiri buat lanjut S2. Pun, aku tak lagi menggantungkan orang tuaku. Misalkan apa yang menjadi inginku, entah jajan atau belanja bisa pakai uang ku sendiri. Bismillah !
Namun nyatanya, usahaku bisa dikatakan jauh dari kata maksimal. Akuu semakin nggak bisa ngontrol diri dengan gaji yang aku dapat. Mungkin pertama kali dapat gaji dari usaha sendiri aku sedikit foya-foya. Jelas aku nggak bisa nabung, padahal sudah aku sisihkan beberapa persen dair uang gaji yang aku terima. Tapi, godaan lebih kerap memaksaku untuk hedon. Ya Alllah. Ku menyesal dengan apa yang aku perbuat sendiri. Aku tak melakukan hal apa pun dengan apa yang aku cita-citakan. Hanya di mulut tanpa usaha! Tuhan mau kasih semangat gimana untukku? Sedangkan aku tak berusaha, hanya meminta saja. Aku harus rela kembali tak bisa melanjutkan. Pendaftaran sudah di depan mata. Namun, sepertinya Tuhan nggak kasih izin. Orang tuaku tak merestui, uang dari mana? uang siapa? Bahkan kala itu ayah sudah berhenti kerja.
Jangan pikir aku bisa merelakan dengan ikhlas. Ku malah marah, aku kesal dengan apa yang Tuhan kasih ke aku. Ku kesal dengan kedua orang tua ku yang sama sekali tak mendukung apa yang menjadi citaku. Kala itu aku hanya dibutakan oleh keegoisan plus emosi. Aku nggak minta ke Tuhan dengan sunguh-sungguh. Saat itu aku hanya melangkah dengan percaya diri atau tepatnya bisa dibilang nggak tahu diri. Aku nggak minta ke Tuhan dengan ikhlas. Memasrahkan semua hanya kepada Tuhan. Pokoknya apa yang menjadi keinginanku harus terpenuhi itu saja. Nggak pernah melihat dari sisi orang tua ku, bagaimana ketidakberdayaan tentang apa yang aku inginkan. Yang aku inginkan harus terwujud itu saja.
Nyatanya berpasrah itu nikmat. Aku nggak perlu mendesak Tuhan, aku nggak perlu mendesak Allah. Sang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk umatnya.
Sekarang aku kembali memasrahkan kepada Tuhanku.
Komentar
Posting Komentar