Kadang aku suka enggak terima dan ngerasa sebel gitu, di usia sekarang masih aja ngalamin yang namanya patah hati. Kek udah bosen dengan yang namanya cinta, tapi bukan suatu hubungan. Cerita lama yang sering terulang buatku tuh selalu jadi momok aja. Rasanya usia sekarang tuh kek malu aja, ngehabisin energi aja dengan yang namanya jatuh cinta berbelit-belit sampai kepada yang namanya patah hati.
Enggak mau ribet, kek udah ngerasa mual aja jika mulai dari awal (kek berasa tua banget ya kesannya). Kalau iya dan cocok, ya jalan dan melangkah. Kalau enggak, ya udah. Tapi, aku enggak bisa mengesampingkan proses sih. Aku butuh proses untuk mencerna, mengenal sampai dengan memutuskan buat menjalin hubungan. Cerita lama dan trauma mungkin (keluarga) membuatku benar-bener memilah. Tetapi, ternyata prosesku kelamaan. Aku enggak bisa dengan cepat memutuskan untuk siapa dan di mana akhirnya hati ini berlabuh. Sampai pada akhirnya, ketika aku udah mulai membuka hati ada aja cobaan yang sampai akhirnya membuatku patah hati.
Kalau kata temenku, bungaku baru aja mekar ee dipaksa untuk layu saat itu juga. Aku enggak tahu lagi sih, harus nulis dan cerita kek gimana. Keknya ruang nyamanku juga enggak aman-aman banget.
Aku enggak tahu ya, aku bahkan menyalahkan diriku berlama-lama. Aku menyalahkan diriku yang enggak pernah bisa dengan cepat membuka dan mengambil keputusan untuk hatiku. Aku juga enggak bisa memilah dengan rasional sebenarnya hatiku akan berlabuh dalam waktu kapan. Bahkan, aku merasa menjadi orang yang sangat jahat. Sampai kepada rasa penyesalan itu kerap menghampiri. Apakah seharusnya aku gampangan saja?
Tapi, lagi-lagi temanku berkata. Setiap orang punya proses untuk hatinya tuh berbeda-beda. Mungkin aku emang salah satunya, salah satu manusia yang susah banget untuk membuka hati. Enggak satu dua kali, bahkan berkali-kali bahkan teman-temanku sendiri bosan ketika mengenalkanku dengan lelaki. Enggak dengan mudah meluluhkan hatiku. Membuka diri saja begitu sangat sulit. Namun, sekiranya aku mulai membuka dan aku tertarik, aku bakal mencurahkan semuanya. Dan di titik ini lagi-lagi aku benci pada diriku.
Aku benci pada diriku yang enggak bisa berpikir rasional dan bijak. Aku benci pada diriku yang sekuat tenaga dan pikiran hanya mencurahkan diri pada satu manusia. Berharap yang enggak tahu bakal kepastian itu di mana, benar-benar menyakitkan.
Komentar
Posting Komentar