Sempatkanlah tawa dalam tangis, dan sempatkanlah tangis
dalam tawa. Entah sudah beberapa tahun lamanya sosok itu hilang, terlintas saja
tidak. Acuh sudah menjadi obat penawar sakit atas luka lama, dan lebih parahnya
lupa adalah penyakit kronisnya. Ketika kini aku berada pada zona nyaman,
ingatanku itu mulai mengusik. Ia datang tanpa permisi dan parahnya lagi tak
sopan menerobos masuk. Memasuki hatiku dan mencoret pikiranku, dan sontak
membuatku kalut seketika. Ya, dia Bapakku, dia Bapak kandungku. Dia iya dia, bahkan aku mulai kasar dengan menyebut kata Dia. Bapak berbeda dengan ayah, ayahku
sekarang jembatan asaku terutama keluargaku. Bapak yang dipikiranku sudah
musnah, hilang, bahkan tenggelam jauh di dasarnya. Aku bahkan sudah mulai geram
mengingatkan wajahnya, ingatanku pun buram terhadapnya. Namun aku tak pernah
mampu menghapus memori suaranya, ya aku masih sangat mengenali suaranya.
Sontak
dadaku ku bergetar hebat, pikiranku kalut, bahkan tanganku kaku, dan mulutku
pun serasa umpek hanya untuk membalas salamnya. Pertama kali aku mengangkat
telefon yang ku lakukan hanya diam dan mencoba seksama mendengar suara di
seberang, dan seketika itu juga ingatan ini kembali ke masa lalu, oh ini
Bapakku. Bapak yang sekian tahun lamanya menghilang, kabar burung menyeruakkan
bahwa Bapak pergi jauh, Bapak yang melupakan bahkan rela menelantarkan
anak-anaknya (ya kata benci menelantarkan sudah terpatri dalam diriku), Bapak
yang tak pernah memberika kabar bahkan menitip salam. Dan jika sudah seperti
itu apa yang kau lakukan? Berhak marah? Berhak benci? Berhak menangis? Ya kesemuanya
itu sudah aku lakukan, benci, marah, dan tangis itu sudah menjadi makananku
hingga saat ini.
Jujur ku
akui, sampai di umurku yang tak muda lagi, aku adalah manusia yang masih
merengek pada kasih sayang orang tua. Aku yang serasa ingin menyusu dan
digendong. Aku yang masih enggan meniti jalanku sendiri, aku masih butuh orang
tua dan aku masih butuh digandeng dan dituntun. Kini setelah aku mampu
menghidupkan cahaya di keluarga kecilku (sejak kehadiran ayah tiriku), aku
sudah tak merajuk untuk hal-hal itu. Allah telah memberikan anugerah arti
keluarga sejak kehadiran beliau dan sejak itu pula sedikit demi sedikit
mengubur benci dan amarahku pada Bapak.
Malam
ini bayangkan saja, aku harus menemui Bapak dia saat hatiku sudah tak goyah.
Aku sempat menolak, dengan alasan “aku
malas dan ini sudah larut malam” (ku kirim sms ke adikku). Adikku yang
sejak sore menemuinya, dan aku yang sejak sore memancing gelak tawa dengan
sahabatku. “Dienteni Bapak”, ujar
adikku. Fisik ku menolak, namun
hatiku bersikukuh “temui saja”. “Tak enteni ya duk, sesok Bapak wes balek
lungo meneh” (tak tunggu ya nak, besok Bapak sudah pergi lagi). Kalimat itu
seperti tiket, satu tiket terakhir yang tak ada cadangannya. Bisa dibilang itu
adalah kesempatan terakhirku, oh aku benci jika harus bergelut dengan suara
hati. Sungguh aku sudah tak membincinya, aku sudah melupakannya, bahkan
dibenakku aku tak mungkin ketemu Bapak lagi. Namun nyatanya malam ini, beliau
menungguku. Kalut! aku sungguh kalut, ah aku malas sungguh. Aku benci harus membuka
luka lama, aku benci harus merapuh lagi, aku benci jika aku harus mengais-ngais
rindu. Aku bingung, ketika bertemu aku
harus berbicara apa? Apa yang harus aku perbuat? Bapak sehat?, aku rindu Bapak, ah aku enggan!
Dengan
segala keraguan aku pun menemui beliau ditemani sahabatku. Sebenci-bencinya kamu, temui saja. Beliau adalah Bapakmu, terserah
nanti kamu mau diam atau tak mau menatapnya, yang jelas sekarang beliau menunggmu.
Temuilah, kau tak akan pernah tahu apa yang terjadi esok, aku temenin. Dan
kini aku duduk berdua dengan beliau. Ya ketika awal tiba tadi aku diciuminya,
dipeluk, bahkan dirangkul. Namun aku hanya dia tanpa berucap, bibirku kelu,
dadaku sesak. Bapak sesok wes budal, seng
ngati-ngati lek kerja. Adeke dituturi lek nakal, salam ge adekmu lanang
(Bapak besok berangkat, hati-hati dalam bekerja. Adekmu sering-sering
dinasehati dan salam buat adikmu). Sontak, Saman kapan moleh maneh? (Bapak kapan pulang lagi?) hatiku sudah
berteriak dan bersekongkol dengan bibirku dan akhirmya meluncurlah kata-kata
itu. Awak jero oleh loro, tapi ojok ngetokne lek nek jobo iku awakmu loro. Iku bapakmu,
awakmu jek butuh Bapak. Wali nikahmu yo Bapakmu uduk ayahmu. ( Boleh hatimu sakit, tapi jangan kau
perlihatkan. Dia adalah Bapakmu, kamu masih membutuhkkan sosok Bapak. Bapakmu
adalah wali ketika kau menikah bukan ayahmu). Aku memasuki kamar dengan
diam.
Komentar
Posting Komentar