Hari itu Nara sedang berpuasa dan cuaca terik sedikit menguras tenaganya. Dahaga sangat terasa di tenggorakknya dan ia pun segera berbaring di kamarnya. Dia berniat tidur hingga menjelang berbuka. Lapar dan dahaga sukses mengantarkannya dalam mimpi yang cukup panjang, pulas melegakan. Samar-samar dia mendengar namanya dipanggil-panggil, tak lain adalah ponakannya Aisha.
“Budhe, mbak Nara dimana.Aku mau belajar, aku mau les”, teriakknya buru.
“Mbak Naranya lagi tidur, kan belajar rutinnya tiap malam?”, tanya ibukku balik
“Aku mau belajar hafalan surat-surat pendek Budhe, nanti di tempatku ngaji ada ujian. Mbak Nara tidur dimana?”, Aisha berburu menyusuri rumah. Nara sendiri lebih sering tidur di kamar tamu daripada kamarnya sendiri, jadi tak heran Aisha mencari-carinya.
Sontak Nara mulai mendengar suara Aisha semakin keras, tapi dia sudah tak ingin diganggu. Nara tetap ingin menuntaskan tidur siangnya. Hingga Aisha membuka pintu kamar.
“Mbak Nara ajarin aku baca, simak bacaan surat-surat pendekku,” katanya menggebu-gebu.
Memang Nara, dia tak bisa mengusir ego dan mencoba berdamai dengan lelahnya. Sebenarnya ia ingin sekali menyimak ponakannya, tapi dia sudah dikalahkan kemalasannya. Dengan sahutan pendek dia menjawab, “Yawis hafalan aja”.
Sampai terdengarkan suara adzan magrib tanda berbuka puasa. Setelah sholat magrib, Nara segera berbuka. Ketika di tengah menguyah Nara baru teringat tentang Aisha.
“Aisha tadi jadi hafalan tidak ya? oh tidak aku terlalu mengantuk sampai ia tak menghiraukannya”.Nara merasa menyesal dengan apa yang diperbuatnya. Padahal adiknya jelas-jelas meminta bantuannya, tapi ia sendiri berpaling dan memilih melanjutkan dirinya.
“Mbak Nara nggak melek sih, ya udah aku tinggal aja,” ungkapnya.
“Kan Mbak Nara bilang, hafalan aja. Ee kamunya malah pergi.”
Aisha hanya tersenyum,”aku tadi sudah berhasil kok hafalan surat pendekku.” Sekita Narapun merasa bersalah dan sangat menyesal.
Komentar
Posting Komentar